“Kepada segenap dingin yang menyelusuri
Lindungi aku
Selimuti aku
Damaikan hatiku
Fahamkan setiap belajarku
Tutupi semua kesedihanku
Kepadamu
Kini aku mencari ilmu”
Lindungi aku
Selimuti aku
Damaikan hatiku
Fahamkan setiap belajarku
Tutupi semua kesedihanku
Kepadamu
Kini aku mencari ilmu”
Senin subuh kala pagi itu, aku
lihat berbondong orang melangkahkan kaki satu persatu mendekati pintu rumahku,
ini merupakan sebagian dari tradisi kecil dalam keluargaku, siapa saja yang
akan bepergian jauh dilepas sambil didoakan, agar berangkat berbekal dengan
banyak ayat dan doa yang telah dilantunkan dari banyak orang. Namun tak ada
yang aku perhatikan selain: bagaimana bisa akhirnya aku tiba pada hari itu,
hari yang tidak pernah aku mengerti, bagaimana aku memiliki banyak kekuatan
untuk melangkahkan kaki begitu jauh dari bumi Pertiwi , bagaimana aku berdiri
dan bangkit dari tidur lama ku ini, tak pernah aku mengerti bagaimana Tuhan
membawaku untuk bisa lari, mau memulai untuk berjalan lagi, menghimpun segala
keterpurukan yang berserak di sana-sini, memunguti keberanian yang baru aku
dapatkan pagi itu sendiri. Maka hari itu adalah hari ku dilepas pergi.
Bagiku bumi Maghriby adalah bumi yang jauh sekali, di ujung barat sana seperti yang aku lihat di setiap peta - menariknya dia selalu dikaitkan dengan wanita-wanita cantik sebagai aset berharganya. Bagiku Maroko hanya sebatas tempat matahari terbenam memulai gelap malam. Maroko tetap dengan senja merahnya sedangkan niatku untuk berkunjung saja tak ada, apalagi bisa belajar disana bagiku hanyalah hal yang tak terlintas sebelumnya.
Awal Kejanggalan
Aku
ingat tepat satu bulan lalu sebelum senin pagi itu, aku diam merasakan
kejanggalan yang tidak aku ketahui dalam diriku, aku dibawa oleh orang tuaku ke
dokter gigi yang sudah biasa kami sambangi, biasanya aku banyak diberi
dongeng-dongeng semasa mudanya, diceritakan banyak hal tentang perjalanan
hidupnya, namun kali ini aku tidak menemukan semua itu di sana, senyum khas
dokter gigiku saja tidak ada, dia hanya menyuruhku untuk segera ke Dokter
Spesialis Bedah Mulut terdekat untuk dikonsultasikan secepatnya. Inilah awal
kejanggalan dimulai, setelah menghadap dokter Spesialis Bedah Mulut yang
dirujukan, tak butuh waktu lama akhirnya sang dokter menjadwalkan oprasiku
dilaksanakan besok, saat itu juga. “jika tidak segera dioperasi, jaringan yang
mati akan menyebar ke sekitar rahang, maka solusinya membuang jaringan yang
mati terlebih dahulu, membuat pendarahan di sekitarnya, setelah itu dia baru
bisa membentuk jaringannya yang baru” ujarnya memutuskan.
Sungguh,
aku tak habis pikir. Bagaimana bisa? Sedangkan hal kecil tentang gigi saja
harus sebegini jauh tindakannya? Sampai sebagian tulang rahang harus diambil,
memang bisa? Ini ada apa sebenarnya? Sedangkan semuanya masih baik baik saja
sebelum aku datang ke salah satu dokter gigi saat di pesantrenku dulu dua bulan
yang lalu, dua dokterku menyimpulkan bahwa kedatanganku pada dokter itu bisa
jadi adalah awal dari segalanya. Aku sudah berbaring setenang mungkin,
merampungkan puasa pra operasi enam jamku sambil menunggu beberapa jam kemudian
dijadwalkan masuk ruang operasi, aku masih tertawa lepas dengan kakak dan
adikku yang sedari tadi menemaniku, tiba tiba Bapak mendekatiku dan bertanya
lirih. “Kamu mau ke Maroko?” bisik Bapakku. Aku terdiam meyakinkan dalam
hatiku, sesungguhnya aku masih punya cinta dan cita-cita di negri lain.
Negri SYAM itu
Sejak dulu
aku punya cita-cita kecil ingin berkunjung menetap dan belajar di satu tempat,
negeri Syam namanya. Walau sudah jelas aku tak tahu banyak tentangnya, tapi
biarkan setidaknya aku punya satu hal indah yang ingin aku ukir di sana. Aku
sudah menunggunya satu tahun kira-kira, jami’ah di sana sudah mencatat namaku
baik-baik walau nilaiku kosong setiap ujian tiba, yang aku butuhkan hanya soal
visa yang tak kunjung tiba, dan selama itu pula aku menunggu dan berharap agar
peperangan di Suriah menemui titik akhirnya. Berbulan-bulan telah aku lewati
namun tak kunjung aku mendapatkannya. Lalu dari mana aku bisa sesetia ini pada
Suriah walau berkalikali aku dikecewakannya, mungkin inilah alasan mengapa aku
mantap menjawab. “Bapak, aku mau di Suriah”
Ternyata Bapakku baru saja menerima
telepon dari salah seorang staf PBNU yang menangani masalah beasiswa,
mengabarkan bahwa namaku menggantikan salah seorang yang mengundurkan diri,
sebelumnya memang aku pernah mengikuti salah satu tes timur tengah melalui staf
PBNU itu, ke Saudi Arabia tepatnya. Namun karena suatu hal, keberangkatan kami
digagalkan.
Mungkin, kalau operasiku tidak
perlu dibius, aku akan memikirkan Maroko dan Suriah sepanjang operasiku, tapi
untunglah aku tak sadar apapun sampai paginya baru sadar dari bius dan
terfikirkan, setidaknya aku harus memilih salah satunya, Maroko yang baru aku
kenal atau Suriah negeri impian yang tak tau sama sekali kapan akan membawaku
ke sana. Suriah memang tak menjanjikan apa-apa, menghangatkan negerinya
terlebih dahulu saja dia masih susah. Namun sekali lagi, entah dari mana aku
bisa begitu setia berharap terhadapnya.
Bertepatan pada hari itu, rombongan
satu angkatan berangkat ke Maroko, membawa cerita masing-masing dari mereka
ber-enam yang mendahuluiku untuk segera bertemu negri ujung barat itu, padahal
jika aku sembuh semestinya aku ada di antara mereka menggenapkan angka tujuh.
Mengulang sakit yang sama
Tidak ada yang menyangka jika
operasiku yang pertama gagal dan harus mengulang operasi untuk yang kedua
kalinya. Dokter bilang operasiku hanya satu kali, setelah itu penyembuhan dan
aku bisa makan banyak lagi. Mungkin Tuhan belum mengizinkan aku cepat-cepat
sembuh dan segera menyusul pergi. Dalam hati, aku sudah putuskan memilih
Maroko, walau aku memiliki ketidaktahuan tentang Maroko lebih banyak dari pada
Suriah. Tapi aku mantapkan dalam hati, mungkin sudah saatnya aku untuk membuka
hati.
Hari-hari aku rasakan semakin
nikmat, aku sudah tidak bisa menggerakkan wajahku sama sekali. Bukan karena aku
kelu untuk mengucapkannya, tapi sungguh karena semua jahitan dalam mulutku tak
mampu aku gerakkan, aku tak mampu berbicara, hanya ku tulis ‘Maroko’ dalam
secarik kertas lalu aku serahkan kepada Bapak agar membacanya. Jadwal operasi
keduaku sudah ada bersamaan dengan jadwal keberangkatanku ke Maroko menyusul
enam temanku yang sudah disana. Aku dijadwalkan akan menyusul mereka setengah
bulan lagi kirakira, sedangkan mereka sudah masuk kuliah menikmati Ta’limul
‘Atiq seperti apa. Tapi aku sendiri masih tertidur di rumah sakit menunggu
operasi selanjutnya tiba, tak tahu dari mana, mengapa aku berani meng-iya-kan
tentang Maroko padahal sebenarnya untuk sembuh pun aku masih harus berjuang
susah.
Namun lagi-lagi Tuhan belum
mengizinkanku untuk sembuh dan berangkat pergi. Setelah operasi kedua dan
pulang ke rumah, aku dan kedua orang tuaku kembali mengunjungi dokter untuk
chek up keadaanku pasca operasi. Namun apalah dikata, justru dokter memberiku
jadwal operasi sekali lagi untuk yang ketiga kalinya. Aku sempat berontak
meminta pulang, masih aku hafal betapa mual saat obat bius itu di suntikkan,
betapa pusing saat terbangun kemudian. Aku rengkuh tubuh Ibuku dan ku pegang
erat tangan kecilnya, ingin aku memberitahunya dalam rengkuhanku bahwa “Ibu,
aku mohon aku tak mau!”. Namun tak ada yang dikatakan, Ibuku hanya membalas
dengan tatapan yang penuh keteduhan.
Hati ibu adalah hatiku
Dua minggu
sudah berlalu, tenggang waktu yang di berikan kepadaku sudah habis pada hari
itu. Bapak sering membicarakan tentang Maroko kepada Ibu, sesekali Ibu menangis
memohon kepada Bapak agar tidak memberangkatkanku kesana. Tapi sesekali pula
Bapak yakinkan pada Ibu bahwa aku akan sembuh dengan segera. Aku dengar obrolan
itu saat aku pura-pura tidur di atas ranjang pasien, aku menangis dari balik
tirai rumah sakit. Rasanya saat itu juga aku putuskan untuk ikhlas merelakan
Maroko, biarkan yang menggenapkan angka tujuh itu orang lain saja. Aku tak akan
tega melihat Ibuku menangis-nangis seperti ini. Bagaimana jika aku benar
berangkat, sedangkan aku masih di sampingnya saja menangis sebegitu dalamnya.
Sudah, aku putuskan tak usah susahsusah menunggu aku sembuh, biarkan Maroko
menjadi cerita penyemangat kesembuhanku saja. Aku ungkapkan keputusanku segera
kepada Bapak, Ibu, staf bagian beasiswa PBNU, juga kepada teman-temanku di
Maroko yang tak bosan setiap menanyakan perkembangan kesehatanku setiap hari dan
minggu, walaupun sesosok bapak adalah cinta pertama bagi setiap putrinya, namun setiap orang yang menyayangkan keputusanku, aku hanya punya satu alasan
untuk menjawabnya dalam hatiku, yaitu tentang Ibuku.
Jawaban dari sebuah doa
Ternyata Tuhan tak pernah
kemana-mana dan berjanji menyelipkan keindahan setelahnya. Saat kau berikhtiyar
sekuat-kuatnya, saat kau berdoa sedekat-dekatnya, dan saat kau merasa
bertawakkal adalah bagian akhir dan setelahnya sudah bukan tugas kita, saat itu
pula Tuhan ulurkan tangan-Nya, mendekap setiap tubuh yang telah lelah, yang
sudah tak punya harapan apa-apa selain peluk hangat-Nya, saat itu pula Tuhan
menjawab apa yang selama ini diminta. Tiba-tiba dokter membahas tentang
kepergianku ke Maroko, aku ditanya baik-baik tentang sebagaimana semangat aku
meraih negara itu. Aku tak banyak bicara, hanya tiba-tiba aku tersenyum saat
dokter berkata “kamu sudah boleh berangkat ke Maroko setelah ini, Nadia!”
Kini aku berjalan mencari pintu
keberangkatan, mengangkat tas hijau di bahuku sendirian, berjalan sejauh
orangorang asing dari banyak negara di dunia yang aku tak kenal, menghimpit
rasa sedih, menahan sesak, setegartegarnya meninggalkan hidupku di Indonesia.
Aku tak pernah berjalan ke negri orang sejauh itu sendirian tanpa membawa satu
orang pun yang aku kenal. Aku nikmati seorang diri, bersama segenap keberanian
yang aku bawa dalam hati. Ini Doha, dengan gemerlap ke-Qatar-annya, lalu
Casablanca, dengan dingin mesra keMaroko-annya.
Maka setelahnya aku meyakini bahwa
di dunia ini tidak ada yang dinamakan ‘kebetulan’. Dari hal kecil sampai besar
semua sudah digariskan. Mengapa selama aku di Indonesia setia mengharap Suriah
namun visa tak kunjung datang, justru setelah sampai di negeri orang tiba-tiba
visa Suriah baru keluar, dari situ Tuhan menggambarkan, bahwa keberadaan
siapapun di bumi Maghriby semata karena tidak ada yang namanya ‘kebetulan’,
karena dari semangat Suriah, tidak ada apa-apa di banding Maroko yang datangnya
tiba-tiba, karena dari semangat sembuh yang membara, Tuhan hantarkan pada
sesuatu yang dinamakan ‘tidak sia sia’.
Penulis : Nadia Nely Amalia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar