04/02/14

KEPADA BUMI MAGHRIBY

“Kepada segenap dingin yang menyelusuri
Lindungi aku
Selimuti aku
Damaikan hatiku
Fahamkan setiap belajarku
Tutupi semua kesedihanku
Kepadamu
Kini aku mencari ilmu”

Senin subuh kala pagi itu, aku lihat berbondong orang melangkahkan kaki satu persatu mendekati pintu rumahku, ini merupakan sebagian dari tradisi kecil dalam keluargaku, siapa saja yang akan bepergian jauh dilepas sambil didoakan, agar berangkat berbekal dengan banyak ayat dan doa yang telah dilantunkan dari banyak orang. Namun tak ada yang aku perhatikan selain: bagaimana bisa akhirnya aku tiba pada hari itu, hari yang tidak pernah aku mengerti, bagaimana aku memiliki banyak kekuatan untuk melangkahkan kaki begitu jauh dari bumi Pertiwi , bagaimana aku berdiri dan bangkit dari tidur lama ku ini, tak pernah aku mengerti bagaimana Tuhan membawaku untuk bisa lari, mau memulai untuk berjalan lagi, menghimpun segala keterpurukan yang berserak di sana-sini, memunguti keberanian yang baru aku dapatkan pagi itu sendiri. Maka hari itu adalah hari ku dilepas pergi.


Bagiku bumi Maghriby adalah bumi yang jauh sekali, di ujung barat sana seperti yang aku lihat di setiap peta - menariknya dia selalu dikaitkan dengan wanita-wanita cantik sebagai aset berharganya. Bagiku Maroko hanya sebatas tempat matahari terbenam memulai gelap malam. Maroko tetap dengan senja merahnya sedangkan niatku untuk berkunjung saja tak ada, apalagi bisa belajar disana bagiku hanyalah hal yang tak terlintas sebelumnya.

Awal Kejanggalan

                Aku ingat tepat satu bulan lalu sebelum senin pagi itu, aku diam merasakan kejanggalan yang tidak aku ketahui dalam diriku, aku dibawa oleh orang tuaku ke dokter gigi yang sudah biasa kami sambangi, biasanya aku banyak diberi dongeng-dongeng semasa mudanya, diceritakan banyak hal tentang perjalanan hidupnya, namun kali ini aku tidak menemukan semua itu di sana, senyum khas dokter gigiku saja tidak ada, dia hanya menyuruhku untuk segera ke Dokter Spesialis Bedah Mulut terdekat untuk dikonsultasikan secepatnya. Inilah awal kejanggalan dimulai, setelah menghadap dokter Spesialis Bedah Mulut yang dirujukan, tak butuh waktu lama akhirnya sang dokter menjadwalkan oprasiku dilaksanakan besok, saat itu juga. “jika tidak segera dioperasi, jaringan yang mati akan menyebar ke sekitar rahang, maka solusinya membuang jaringan yang mati terlebih dahulu, membuat pendarahan di sekitarnya, setelah itu dia baru bisa membentuk jaringannya yang baru” ujarnya memutuskan.

                Sungguh, aku tak habis pikir. Bagaimana bisa? Sedangkan hal kecil tentang gigi saja harus sebegini jauh tindakannya? Sampai sebagian tulang rahang harus diambil, memang bisa? Ini ada apa sebenarnya? Sedangkan semuanya masih baik baik saja sebelum aku datang ke salah satu dokter gigi saat di pesantrenku dulu dua bulan yang lalu, dua dokterku menyimpulkan bahwa kedatanganku pada dokter itu bisa jadi adalah awal dari segalanya. Aku sudah berbaring setenang mungkin, merampungkan puasa pra operasi enam jamku sambil menunggu beberapa jam kemudian dijadwalkan masuk ruang operasi, aku masih tertawa lepas dengan kakak dan adikku yang sedari tadi menemaniku, tiba tiba Bapak mendekatiku dan bertanya lirih. “Kamu mau ke Maroko?” bisik Bapakku. Aku terdiam meyakinkan dalam hatiku, sesungguhnya aku masih punya cinta dan cita-cita di negri lain.

Negri SYAM itu

                Sejak dulu aku punya cita-cita kecil ingin berkunjung menetap dan belajar di satu tempat, negeri Syam namanya. Walau sudah jelas aku tak tahu banyak tentangnya, tapi biarkan setidaknya aku punya satu hal indah yang ingin aku ukir di sana. Aku sudah menunggunya satu tahun kira-kira, jami’ah di sana sudah mencatat namaku baik-baik walau nilaiku kosong setiap ujian tiba, yang aku butuhkan hanya soal visa yang tak kunjung tiba, dan selama itu pula aku menunggu dan berharap agar peperangan di Suriah menemui titik akhirnya. Berbulan-bulan telah aku lewati namun tak kunjung aku mendapatkannya. Lalu dari mana aku bisa sesetia ini pada Suriah walau berkalikali aku dikecewakannya, mungkin inilah alasan mengapa aku mantap menjawab. “Bapak, aku mau di Suriah”

Ternyata Bapakku baru saja menerima telepon dari salah seorang staf PBNU yang menangani masalah beasiswa, mengabarkan bahwa namaku menggantikan salah seorang yang mengundurkan diri, sebelumnya memang aku pernah mengikuti salah satu tes timur tengah melalui staf PBNU itu, ke Saudi Arabia tepatnya. Namun karena suatu hal, keberangkatan kami digagalkan.

Mungkin, kalau operasiku tidak perlu dibius, aku akan memikirkan Maroko dan Suriah sepanjang operasiku, tapi untunglah aku tak sadar apapun sampai paginya baru sadar dari bius dan terfikirkan, setidaknya aku harus memilih salah satunya, Maroko yang baru aku kenal atau Suriah negeri impian yang tak tau sama sekali kapan akan membawaku ke sana. Suriah memang tak menjanjikan apa-apa, menghangatkan negerinya terlebih dahulu saja dia masih susah. Namun sekali lagi, entah dari mana aku bisa begitu setia berharap terhadapnya.

Bertepatan pada hari itu, rombongan satu angkatan berangkat ke Maroko, membawa cerita masing-masing dari mereka ber-enam yang mendahuluiku untuk segera bertemu negri ujung barat itu, padahal jika aku sembuh semestinya aku ada di antara mereka menggenapkan angka tujuh.


Mengulang sakit yang sama

Tidak ada yang menyangka jika operasiku yang pertama gagal dan harus mengulang operasi untuk yang kedua kalinya. Dokter bilang operasiku hanya satu kali, setelah itu penyembuhan dan aku bisa makan banyak lagi. Mungkin Tuhan belum mengizinkan aku cepat-cepat sembuh dan segera menyusul pergi. Dalam hati, aku sudah putuskan memilih Maroko, walau aku memiliki ketidaktahuan tentang Maroko lebih banyak dari pada Suriah. Tapi aku mantapkan dalam hati, mungkin sudah saatnya aku untuk membuka hati.

Hari-hari aku rasakan semakin nikmat, aku sudah tidak bisa menggerakkan wajahku sama sekali. Bukan karena aku kelu untuk mengucapkannya, tapi sungguh karena semua jahitan dalam mulutku tak mampu aku gerakkan, aku tak mampu berbicara, hanya ku tulis ‘Maroko’ dalam secarik kertas lalu aku serahkan kepada Bapak agar membacanya. Jadwal operasi keduaku sudah ada bersamaan dengan jadwal keberangkatanku ke Maroko menyusul enam temanku yang sudah disana. Aku dijadwalkan akan menyusul mereka setengah bulan lagi kirakira, sedangkan mereka sudah masuk kuliah menikmati Ta’limul ‘Atiq seperti apa. Tapi aku sendiri masih tertidur di rumah sakit menunggu operasi selanjutnya tiba, tak tahu dari mana, mengapa aku berani meng-iya-kan tentang Maroko padahal sebenarnya untuk sembuh pun aku masih harus berjuang susah.

Namun lagi-lagi Tuhan belum mengizinkanku untuk sembuh dan berangkat pergi. Setelah operasi kedua dan pulang ke rumah, aku dan kedua orang tuaku kembali mengunjungi dokter untuk chek up keadaanku pasca operasi. Namun apalah dikata, justru dokter memberiku jadwal operasi sekali lagi untuk yang ketiga kalinya. Aku sempat berontak meminta pulang, masih aku hafal betapa mual saat obat bius itu di suntikkan, betapa pusing saat terbangun kemudian. Aku rengkuh tubuh Ibuku dan ku pegang erat tangan kecilnya, ingin aku memberitahunya dalam rengkuhanku bahwa “Ibu, aku mohon aku tak mau!”. Namun tak ada yang dikatakan, Ibuku hanya membalas dengan tatapan yang penuh keteduhan.

Hati ibu adalah hatiku

                Dua minggu sudah berlalu, tenggang waktu yang di berikan kepadaku sudah habis pada hari itu. Bapak sering membicarakan tentang Maroko kepada Ibu, sesekali Ibu menangis memohon kepada Bapak agar tidak memberangkatkanku kesana. Tapi sesekali pula Bapak yakinkan pada Ibu bahwa aku akan sembuh dengan segera. Aku dengar obrolan itu saat aku pura-pura tidur di atas ranjang pasien, aku menangis dari balik tirai rumah sakit. Rasanya saat itu juga aku putuskan untuk ikhlas merelakan Maroko, biarkan yang menggenapkan angka tujuh itu orang lain saja. Aku tak akan tega melihat Ibuku menangis-nangis seperti ini. Bagaimana jika aku benar berangkat, sedangkan aku masih di sampingnya saja menangis sebegitu dalamnya. Sudah, aku putuskan tak usah susahsusah menunggu aku sembuh, biarkan Maroko menjadi cerita penyemangat kesembuhanku saja. Aku ungkapkan keputusanku segera kepada Bapak, Ibu, staf bagian beasiswa PBNU, juga kepada teman-temanku di Maroko yang tak bosan setiap menanyakan perkembangan kesehatanku setiap hari dan minggu,  walaupun sesosok bapak adalah cinta pertama bagi setiap putrinya, namun setiap orang yang menyayangkan keputusanku, aku hanya punya satu alasan untuk menjawabnya dalam hatiku, yaitu tentang Ibuku.

Jawaban dari sebuah doa

Ternyata Tuhan tak pernah kemana-mana dan berjanji menyelipkan keindahan setelahnya. Saat kau berikhtiyar sekuat-kuatnya, saat kau berdoa sedekat-dekatnya, dan saat kau merasa bertawakkal adalah bagian akhir dan setelahnya sudah bukan tugas kita, saat itu pula Tuhan ulurkan tangan-Nya, mendekap setiap tubuh yang telah lelah, yang sudah tak punya harapan apa-apa selain peluk hangat-Nya, saat itu pula Tuhan menjawab apa yang selama ini diminta. Tiba-tiba dokter membahas tentang kepergianku ke Maroko, aku ditanya baik-baik tentang sebagaimana semangat aku meraih negara itu. Aku tak banyak bicara, hanya tiba-tiba aku tersenyum saat dokter berkata “kamu sudah boleh berangkat ke Maroko setelah ini, Nadia!”

Kini aku berjalan mencari pintu keberangkatan, mengangkat tas hijau di bahuku sendirian, berjalan sejauh orangorang asing dari banyak negara di dunia yang aku tak kenal, menghimpit rasa sedih, menahan sesak, setegartegarnya meninggalkan hidupku di Indonesia. Aku tak pernah berjalan ke negri orang sejauh itu sendirian tanpa membawa satu orang pun yang aku kenal. Aku nikmati seorang diri, bersama segenap keberanian yang aku bawa dalam hati. Ini Doha, dengan gemerlap ke-Qatar-annya, lalu Casablanca, dengan dingin mesra keMaroko-annya.

Maka setelahnya aku meyakini bahwa di dunia ini tidak ada yang dinamakan ‘kebetulan’. Dari hal kecil sampai besar semua sudah digariskan. Mengapa selama aku di Indonesia setia mengharap Suriah namun visa tak kunjung datang, justru setelah sampai di negeri orang tiba-tiba visa Suriah baru keluar, dari situ Tuhan menggambarkan, bahwa keberadaan siapapun di bumi Maghriby semata karena tidak ada yang namanya ‘kebetulan’, karena dari semangat Suriah, tidak ada apa-apa di banding Maroko yang datangnya tiba-tiba, karena dari semangat sembuh yang membara, Tuhan hantarkan pada sesuatu yang dinamakan ‘tidak sia sia’.

Penulis : Nadia Nely Amalia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar