11/02/14

Sejarah NU (oleh almarhum KH. As’ad Syamsul Arifin)

       Tulisan ini adalah cerita nyata / pengajian KH. As’ad Syamsul Arifin dalam bahasa madura yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Beliau bercerita :
“Yang saya sampaikan pada anda tidak bersifat pengarahan atau nasehat, tapi saya mau bercerita kepada anda semua. Anda suka mendengarkan cerita?

Hadirin menjawab : enggi (ya)

Kalau suka saya mau bercerita. Begini saudara-saudara. Tentunya yang hadir ini kebanyakan warga NU ya? Ya?

Hadirin menjawab : enggi (ya)

Kalau ada selain warga NU tidak apa-apa ikut mendengarkan. Cuma yang saya sampaikan ini tentang NU (Nahdhatul Ulama). Karena saya ini orang NU tidak boleh berubah-ubah, tetap NU.  Jadi saya mau bercerita kepada kalian kenapa ada NU?
Tentunya mubaligh-mubaligh yang lain biasanya menceritakan isinya kitab. Kalau saya tidak. Sekarang saya ingin bercerita tentang kenapa ada NU di indonesia ? apa sebabnya?  Tolong di dengarkan ya, terutama para pengurus. Pengurus Cabang, MWC, Ranting.
Kenapa ada NU di indonesia ?

Begini, Umat islam di Indonesia ini, mulai kira-kira 700 tahun dari sekarang, kurang lebih. Para Auliya’ pelopor-pelopor Rasulullah Saw yang masuk ke Indonesia ini membawa syariat Islam menurut aliran salah satu empat madzhab yang empat. Jadi ulama, para Auliya’ pelopor Rasulullah Saw masuk ke Indonesia pertama kali yang dibawa adalah islam menurut orang sekarang Islam Ahlisunah Wal Jamaah atau islam dari Rasulullah Saw yang beraliran salah satu dari empat madzhab khususnya madzhab Syafi’i. ini yang terbesar yang ada di Indonesia, madzhab-madzhab yang lain juga ada. Faham ya ?

Ini termasuk islam Ahlisunnah Wal Jamaah. Temasuk yang dibawa Wali Songo, yang dibawah sunan Ampel, Maulana Ibrahin Asmoro ayahandanya, termasuk sunan kali jogo, termasuk sunan gunung jati, semua ini adalah ulama-ulama pelopor yang masuk ke Indonesia yang membawa syariat islam Ahlisunnah Wal Jamaah. Faham?
Kira-kira tahun 1920, waktu saya masih di Bangkalan (Madura) di pondok Kyai Kholil, kira-kira tahun 1920, kyai Muntaha Jengkebuan menantu Kyai Kholil Bangkalan kedatangan tamu para ulama dari seluruh Indonesia, secara bersamaan mereka datang tanpa ada janji sebelumnya,  berjumlah selam satu bulan sekitar 66 ulama dari seluruh Indonesia. Masing-masing ulama melaporkan : “bagaimana Kyai Muntaha, tolong sampaikan kepada Kyai Kholil, saya tidak berani menyampaikannya. Kita semua sudah berniat untuk sowan kepada Hadratusy Syaikh. Kita tidak ada yang berani  kalau bukan anda yang menyampaikan”.
Kyai Muntaha berkata : “Apa keperluannya?”
“Begini, sekarang ini mulai ada kelompok-kelompok yang sangat tidak senang dengan ulama salaf, tidak senang dengan karangan kitab-kitab ulama salaf, yang diikuti cuma Quran Hadis saja, yang lain tidak perlu diikuti. Terus bagaimana pendapat pelopor-pelopor  terutama Wali songo kalau yang berjalan seperti ini di Indonesia, sebab rupanya kelompok ini melalui kekuasaan pemerintah jajahan, pemerintah Hindia Belanda. Tolong sampaikan pada Kyai Kholil.”

Sebelum para tamu sampai ke kediaman Kyai Kholil dan masih berada di jengkuban (rumah Kyai Muntaha) Kyai Kholil menyuruh Kyai Nasib : “ Nasib, kesini !! Bilang kepada Muntaha, di Quran sudah ada keterangan yang sudah cukup : “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang yang kafir tidak menyukai” (at-Taubat : 32) Jadi kalau sudah dikehendaki oleh Allah Ta’ala, maka kehendaknya yang terjadi, tidak akan gagal. Bilang ya ke Muntaha”

Jadi para tamu belum sowan sudah dijawab oleh Kyai (Kyai Kholil), Ini karomah saudara, belum datang sudah dijawab keperluannya, jadi ulama tidak menyampaikan apa-apa, cuma bersalaman.
“Sudah saya puas sekarang” kata para tamu kepada Kyai Muntaha, jadi saya belum sowan, sudah dijawab hajat saya ini.

Tahun 1921-1922 ada permusyawarahan di Kawatan (Surabaya) di rumah Kyai Mas Alwi. Ulama-ulama berkumpul sebanyak 46, bukan 66. Tapi hanya seluruh jawa. Yang bermusyawarah termasuk Abah saya (KH Syamsul Arifin). Juga termasuk Kyai Sidogiri, termasuk Kyai Hasan al marhum Genggong, yang membahas masalah ini, seperti apa, seperti apa seperti apa.  Dari barat Kyai Asnawi Qudus, malang Kyai Thohir bungkuk.
Para Kyai berkata, berkata tapi tidak ada jadinya, tidak ada kesimpulan. Sampai pada tahun 1923.

Kata Kyai satunya : “Mendirikan jamiyah (organisasi)”.

Kata yang lain : “Syarikat islam ini saja diperkuat”.

Kata yang lain : “Organisasi yang sudah ada saja”.

Belum ada NU. Sementara yang lain sudah merajalela. Tabarruk-tabarruk sudah tidak boleh, orang minta barokah ke Ampel sudah tidak boleh, minta Syafaat ke gurunya sudah tidak boleh. Ini sudah tidak dikehendaki. Sudah ditolak semua oleh kelompok-kelompok tadi. Bagaimana ini !!!

Kemudian ada satu ulama yang matur sama Kyai : “kyai saya menemukan satu sejarah tulisan sunan Ampel. Sunan Ampel menulis :
(Kyai As’ad berkata sebelumnya : kalau tidak salah ini kertas tebal. Saya masih kanak-kanak. Belum dewasa hanya mendengarkan saja)

Kata sunan Ampel di dalam tulisannya : “Waktu saya (Sunan Ampel Raden Rahmatullah) mengaji ke paman saya dimadinah, saya pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. Seraya beliau berkata kepada saya : "Rahmatullah, islam Ahlisunnah Wal Jamaah ini bawa hijrah ke Indonesia, karena ditempat kelahiran ini sudah tidak mampu melaksanakan Syariat Islam Ahlisunnah Wal Jamaah, bawa ke Indonesia” jadi Arab sudah tidak mampu melaksanakan syariat islam Ahlisunnah Wal Jamaah.

Pada Zaman Maulana Ahmad, belum ada Istilah Wahabi, belum ada istilah apa-apa. Pada tahun 1921 para ulama Indonesia ditugaskan melakukan wasiat tadi. Kesimpulannya mereka istikharah. Jadi ulama yang berempat ini melakukannya, ada yang ke Ampel, ada yang kesunan Giri, dan ke sunan-sunan lainya. Paling sedikit 40 hari. Dan ada 4 orang yang ditugaskan langsung ke Madinah. Akhirnya di tahun 1923 semua berkumpul, sama-sama melaporkan hasinya.

Hasil laporan ini tidak tahu siapa yang megang sekarang, apa Kyai Wahab, Apa Kyai Bisri, Insyaallah ada laporan lengkapnya. Dulu pernah saya minta sama Gus Abdurrahman dan Gus Yusuf supaya dicari.
Sesudah tidak menemukan kesimpulan, tahun 1924, Kyai Kholil memanggil saya, ya saya ini (KH. As’ad Syamsul Arifin)

Karena saya tidak bisa mengucapkan huruf ra’. Saya ini pelat (tidak bisa mengucapkan angka R atau Ra’). Saat membaca Arrahman Arrahim Kyai Kholil marah : “Bagaimana kamu membaca Al-Quran kok seperti ini?  Disengaja apa tidak?”

“Tidak sengaja Kyai, saya pelat”

Kyai kemudian keluar, kemudian dibuka mulut saya dan diludahi, kemudian esok harinya hilang pelat saya. Ini adalah satu kekeramatan Kyai yang diberikan kepada saya.

Kedua saya di panggil lagi : “Mana yang pelat itu, sudah sembuh pelatnya ?”

“Sudah Kyai”  kemudian disuruh baca.

Dan Kyai berkata : begini ya, besok kamu pergi ke Hasyim Asyari Jombang. Tahu rumahnya?”

“Tahu”

“Kok tahu? Pernah mondok disana?”

“Tidak, Cuma pernah sowan”

“Ini Tongkat diantarkan kepada Hasyim Asyari. Ini tongkat kasihkan”.

“Enggi (iya) Kyai”

“Punya uang kamu”

“Tidak punya Kyai”

“Ini” saya berikan uang ringgit, uang perak bulat, saya letakkan di kantong. Tidak saya pakai, sampai sekarang masih ada, tidak beranak, tapi berbuah (berkah)
Beranak tidak ada, tapi buahnya banyak. Saya simpan . Ini berkah. Ini buahnya.
Keesokan harinya, saat saya mau berangkat, saya dipanggil lagi : “Kesini kamu ! ada ongkosnya?”

“Ada Kyai”

“Iya ada ongkosnya kereta, tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan suka merekok?”

Saya dikasih lagi 1 ringgit bulat. Saya simpan lagi saya sudah punya 5 rupiah, uang ini saya tidak             apa-apakan, masih ada sampai sekarang.
Kyai keluar membawa tongkat : “Ini kasihkan ya”(Kyai Kholil membaca surat Thaha 17-21)
“Apakah itu yang ditangan kananmu, hai musa? Berkata musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegang padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluanku padanya”. Allah berfirman : “Lemparkan ia wahai Musa ! lalu dilemparkannyalah tongkat, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang meraya dengan cepat. Allah berfirman : “Peganglah ia dan jangan takut, kami akan mengembalikannya kepada keadaan semual”

“Ini kasih kan”

Karena saya ini namanya masih anak muda, masih gagah, sekarang saja sudah keriput. Gagah memakai tongkat, dilihat terus sama orang-orang, kata orang Arab Ampel “orang ini gila, muda pegang tongkat” ada yang bilang “ini wali” wah macam-macam perkataan orang. Ada yang bilang gila, ada yang bilang wali, saya tidak mau tahu. Saya hanya disuruh Kyai. Wali atau tidak, gila atau tidak terserah kata orang, saya terus berjalan. Saya terus di olok-olok, gila, masih muda pakai tongkat. Jadi perkataan orang tidak bisa diikuti semua. Rusak semua. Yang menghina terlalu parah yang memuji  keterlaluan, wali itu, kok tahu wali dari mana? Ini jadi ujian untuk saya dari Kyai.

Saya terus berjalan sampai tebuireng.
(Kyai Hasyim bertanya) : “Siapa ini?”

“Saya Kyai”

“Anak mana?”

“Dari Madura Kyai”

“Siapa namanya?”

“As’ad”

“Anaknya siapa?”

“Anaknya H. Syamsul Arifin”

“Anaknya Maimuna kamu?”

“Ya Kyai”

“Keponaanku kamu nak, ada apa?”

“Begini Kyai, saya disuruh Kyai Kholil untuk mengantar tongkat”

“Tongkat apa?.. tungu..sebentar, sebentar…”

Kyai ini orang yang sadar, Kyai pintar, cerdas.
“Bagaimana ceritanya” kata Kyai Hasyim
Tongkat ini tidak langsung diambil, tapi ditanya dulu mengapa saya diberi tongkat.
Kemudia saya menyampaikan ayat :
“Apakah itu yangditangan kananmu, hai musa? Berkata musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegang padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluanku padanya”. Allah berfirman : “Lemparkan ia wahai Musa ! lalu dilemparkannyalah tongkat, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang meraya dengan cepat. Allah berfirman : “Peganglah ia dan jangan takut, kami akan mengembalikannya kepada keadaan semual”  (surat Thaha 17-21)

“Alhamdulillah nak, saya ingin mendirikan Jamiyah Ulama, saya tulus, saya teruskan kalau begini. Lihat tongkat ini, tongkat Nabi Musa yang diberikan Kyai Kholil kepada saya”

Inilah rencana mendirikan Jamiyah Ulama. Belum ada Nahdlatul Ulama.
Apa katanya? Saya belum pernah mendengar kabar berdirinya Jamiyah Ulama, saya tidak mengerti. Setelah itu saya mau pulang.

“Mau pulang kamu?”

“Ya Kyai”

“Cukup uang sakunya?”

“Cukup Kyai, saya cukup didoakan saja Kyai”

“Ya mari,.. haturkan ke Kyai Kholil, saya tulus, saya tulus untuk mendirikan jamiyah Ulama”

Inilah asalnya Jamiyah Ulama
Tahun 1924 akhir, saya di panggil lagi oleh Kyai Kholil

“As’ad, kesini”
“Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim?”

“Tidak Kyai”

“Hasyim Asyari?”

“Ya, Kyai”

“Dimana rumahnya?”

“Tebuireng”

“Dari mana asalnya?”

“Dari keras (kediri) Kyai, putranya Kyai keras kediri”

“Ya benar”

“Ini tasbih hantarkan”

“Ya Kyai”

Kemudian saya diberi uang 1 ringgit dan rokok, saya kumpulkan, semua menjadi 3 ringgit dengan yang dulu, tidak ada yang saya pakai. Saya ingin tahu buahnya.
Terus di pagi hari Kyai keluar dari langgar (musholla)

“Kesini, kesini , makan dulu”

“Tidak Kyai, saya sudah minum wedang dan jajan”

“Dari mana kamu dapat?”

“Saya beli di jalan Kyai?”

“Janagn membeli di jalan !? jangan makan di jalan?, santri kok makan di jalan!”

“Ya Kyai” saya di marahin karena makan di jalan

“Santri kok menjual harga dirinya!”

Akhirnya saya ditanya : “Cukup sakunya?”

“Cukup Kyai”

“Tidak, ini ambil”

Diberi lagi oleh Kyai 1 ringgit, saya simpan lagi.
Kemudian tasbih di pegang ujungnya oleh Kyai,

“Ya Jabbar, ya jabbar, ya jabbar. Ya qahhar, ya qahhar. Ya qahhar”
Jadi ya jabbar 1 kali putaran tasbih, ya qahhar 1 kali putaran tasbih. Saya disuruh dzikir.

“Ini” disuruh ngambil tasbih itu, saya tegakkan leher saya

“Kok dileher?”

“Ya Kyai, tolong di letakkan di leher supaya tidak jatuh”

“Ya sudah” dikalungkan oleh Kyai.

Jadi saya berkalung tasbih, masih muda berkalung tasbih, saya berjalan lagi, bertemu lagi dengan yang membicarakan dulu.

“Ini orang yang megang tongkat dulu itu? Wah hadza(ini) majnun (gila)”. Ada yang bilang “wali”, ya seperti dulu. Jadi saya tidak menjawab. Saya tidak bicara kalau belum bertemu Kyai Hasyin. Saya puasa. Saya tidak bicara, tidak makan, tidak merokok, karena amanatnya Kyai, saya tidak berani berbuat apa-apa, sebagaimana kepada Rasulullah, ini kepada guru. Saya tidak berani. Saya berpuasa. Saya tidak makan, tidak minum, tidak merokok, tidak terpakai uang saya. Ada yang narik “karcis, karcis” saya tidak ditanya. Saya pikir ini karena tasbih dan tongkat, jadi saya pura-pura tidur karena tidak punya karcis, jadi perjalanan dua kali saya tidak membeli karcis. Ini sudah jelas keramatnya Kyai, jadi Auliya’ itu punya karomah, saya semakin yakin dengan karomah.
Lalu saya sampai di tebuireng, “Kyai?”

“Apa cong (apa nak)?”

“Saya mengantarkan tasbih”

“Masyaallah, masyaallah, saya diperhatikan betul oleg guru saya. Mana tasbihnya?”

“Ini Kyai” (dengan mengulurkan leher)

“Lho”

“Ia kyai, tasbih ini dikalungkan oleh Kyai ke leher saya. Sampai sekarang saya tidak memegangnya Kyai, saya takut su’ul adab (tidak sopan) kepada guru, sebab tasbih ini untuk anda, saya tidak akan berbuat apa-apa terhadap barang milik anda”

Kemudian diambil oleh Kyai. “Apa kata Kyai?”

“Ya Jabbar, ya jabbar, ya jabbar. Ya qahhar, ya qahhar. Ya qahhar”

“Siapa yang berani kepada NU akan hancur, siapa yang berani pada ulama akan hancur” begitu dawuhnya.

Faham ya ini?
(hadirin menjawab : enggi : ya)

Pada tahun 1925, Kyai Kholil wafat di tanggal 29 Ramadhan, banyak orang berserakan. Akhirnya pada tahun 1926 bulan Rajab diresmikan Jamiyatul Ulama.

Jelas ya (hadirin menjawab : enngi : ya)

Ini sudah dibuat, organisasi sudah disusun, termasuk yang menyusunnya Kyai Dahlan dari Nganjuk yang membuat anggaran dasar. Kemudian para ulama sidang lagi untuk mengurus kepada gubernur jenderal.
Ya, seperti  itulah yang dapat saya ceritakan. Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh”

link video : http://youtu.be/NG7MZq6_iE8




Tidak ada komentar:

Posting Komentar